A. Pengertian
Desa / Pedesaan
Menurut
Prof.Drs. R. Bintarto, Desa adalah hasil perpaduan antara kegiatan sekelompok
manusia dengan lingkungannya. Hasil dari perpaduan itu ialah suatu wujud atau
kenampakan di muka bumi yang di timbulkan oleh unsur-unsur fiografi, sosial,
ekonomi, politik dan kultural yang saling berinteraksi antar unsur tersebut dan
juga dalam hubungannya dengan daerah-daerah lain. Dalam pengertian umum, Desa
adalah pemikiman manusia di luar kota yang penduduknya berjiwa agraris . Suatu
pedesaan masih sulit umtuk berkembang, bukannya mereka tidak mau berkembang
tapi suatu hal yang baru terkadang bertentangan dengan apa yang leluhur hereka
ajarkan karna itu masyarakat pedasaan sangat tertutup dengan hal-hal yang baru
karena mereka masih memegang teguh adat-adat yang leluhur mereka ajarkan.
B.
Ciri-Ciri Masyarakat Desa
Dalam buku
Sosiologi karangan Ruman Sumadilaga seorang ahli Sosiologi “Talcot Parsons”
menggambarkan masyarakat desa sebagai masyarakat tradisional (Gemeinschaft) yang mengenal ciri-ciri masarakat desa sebagai berikut :
A.
Afektifitas ada hubungannya
dengan perasaan kasih sayang, cinta , kesetiaan dan kemesraan.
Perwujudannya dalam sikap dan perbuatan tolong menolong, menyatakan simpati terhadap musibah yang diderita orang lain dan menolongnya tanpa
pamrih.
B.
Orientasi kolektif sifat ini
merupakan konsekuensi dari Afektifitas, yaitu mereka
mementingkan kebersamaan , tidak suka menonjolkan diri, tidak suka akan orang
yang berbeda pendapat, intinya semua harus memperlihatkan keseragaman persamaan.
C.
Partikularisme pada dasarnya
adalah semua hal yang ada hubungannya dengan keberlakuan khusus untuk suatu
tempat atau daerah tertentu. Perasaan subyektif, perasaan kebersamaan
sesungguhnya yang hanya berlaku untuk kelompok tertentu saja.(lawannya Universalisme)
D.
Askripsi yaitu berhubungan
dengan mutu atau sifat khusus yang tidak diperoleh berdasarkan suatu usaha yang tidak disengaja, tetapi merupakan suatu keadaan yang sudah
merupakan kebiasaan atau keturunan.(lawanya prestasi).
E.
Kekabaran (diffuseness).
Sesuatu yang tidak jelas terutama dalam hubungan antara pribadi tanpa ketegasan
yang dinyatakan eksplisit. Masyarakat desa menggunakan bahasa tidak
langsung, untuk menunjukkan sesuatu. Dari uraian tersebut (pendapat Talcott
Parson) dapat terlihat pada desa-desa yang masih murni masyarakatnya tanpa
pengaruh dari luar.
c.ASPEK-ASPEK KULTURAL
MASYARAKAT DESA
- KEBUDAYAAN
Obyek studi pokok sosiologi adalah masyarakat, dan masyarakat tidak
dapat dilepaskan dari kebudayaan.
Defenisi kebudayaan menurut ahli :
1. Horton dan Hunt mendefinisikan masyarakat
adalah suatu organisasi manusia yang saling berhubungan satu sama lain,
sedangkan kebudayaan adalah sistem norma dan nilai yang terorganisasi yang
menjadi pegangan masyarakat itu.
2. Ralph Linton, kebudayaan diartikan sebagai way
of life suatu masyarakat. Meliputi way of thinking (cara berpikir,
mencipta), way of feling (cara mengekspresikan rasa), way of doing (cara
berbuat, berkarya).
3. Selo Soemardjan dan Soelaeman Sumardi,
kebudayaan sebagai semua hasil karya, cipta dan karya masyarakat.
Jadi kebudayaan adalah suatu yang berwujud berupa alat dan berbagai
teknologi untuk keperluan hidup manusia, tata nilai dan berbagai aturan tertib
sosial untuk menjaga keberlangsungan sistem yang ada baik ekonomi, sistem
sosial dan berbagai sisi kehidupan manusia lainnya.
Menurut Koentjaraningrat, unsur-unsur kebudayaan terdiri dari :
1. Sistem kepercayaan
2. Sistem organiasi kemasyarakatan
3. Sistem pengetahuan
4. Bahasa
5. Kesenian
6. Sistem mata pencaharian hidup
7. Sistem teknologi
Mayor Polak = aspek kultural masyarakat adalah analog dengan aspek
rohani sedangkan aspek strukturalnya adalah analog dengan aspek jasmani
suatu makhluk
Aspek kultural masyarakat desa terorientasi pada jangkauan mengenai
gambaran-gambaran asli masyarakat desa, yaitu masyarakat pertanian.
Masyarakat petani secara umum sering dipahami sebagai suatu kategori
sosial yang seragam dan bersifat umum, artinya sering tidak disadari adanya
diferensiasi atau perbedaan-perbedaan dalam berbagai aspek yang terkandung
dalam komunitas petani. Contoh, diferensiasi dalam komunitas petani itu
akan terlhat berdasar perbedaan dalam tingkat perkembangan masyarakatnya, jenis
tanaman yang mereka tanam, teknologi atau alat-alat yang mereka gunakan, sistem
pertanian yang mereka pakai, topografi atau kondisi fisik-geografik lainnya.
Gambaran umum betuk deferensiasi msyarakat petani terbagi menjadi
dua :
a. Petani bersahaja yang disebut juga petani
tradisional golongan peasant
Kaum petani yang masih tergantung dan dikuasai alam karena
rendahnya tingkat pengetahuan dan teknologi mereka, produksi mereka ditujukan
pada suatu usaha untuk menghidupi keluarga.
b. Petani modern atau agricultural enterpreneur
Kaum petani yang menggunakan teknologi dan sistem pengelolaan modern
dan menanam tanaman yang laku dipasaran. Sistem pengelolaanpertanian mereka
dalam bentuk agribisnis, agroindustri dan berusaha mengejar keuntungan.
- KEBUDAYAAN TRADISIONAL MASYARAKAT DESA
Konsep tradisional masyarakat desa mengacu pada gambaran tentang
cara hidup (way of Life) masyarakat desa yang hidupnya masih tergantung pada
alam. Paul H.Landis mengemukakan bahwa besar kecilnya pengaruh alam terhadap
pola kebudayaan masyarakat desa ditentukan oleh tiga faktor :
1. Sejauh mana ketergantungan mereka terhadap
pertanian
2. Tingkat teknologi mereka
3. Sistem produksi yang diharapkan
Dari faktor di atas, maka terciptanya kebudayaan tradisional apabila
masyarakat amat tergantung kepada pertanian , tingkat teknologinya rendah dan
produksinya hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Ciri-ciri Kebudayaan Tradisional :
1. Pengembangan adaptasi yang kaut terhadap
lingkunagn alam.
Masyarakat desa (petani) mengembangkan tingkat dan bentuk adaptasi
terhadap pelbagai kekhususan lingkungan alam, sehingga dalam kaitan ini dapat
dipahami bahwa pola kebudayaan masyarakat desa terikat dan mengikuti karakteristik
khas lingkungan (alam).
2. Rendahnya tingkat inovasi masyarakat karena
adaptasi pasif terhadap alam.
Tingkat kepastian terhadap elemen alam (jenis tanah, tingkat
kelembaban, ketinggian tanah, pola geografis, dll) cukup tinggi sehingga merek
tidak terlalu memerlukan hal-hal yang baru karena terasa telah diatur dan
ditentukan oleh alam.
3. Faktor alam juga mempengaruhi kepribadian
masyarakatnya.
Sebagai akibat dari kedekatannya dengan alam, orang desa umumnya
mengembangkan filsafat hidup yang organis. Artinya mereka cenderung
memandang segala sesuatu sebagai suatu kesatuan dan tebalnya rasa kekeluargaan.
4. Pola kebiasaan hidup yang lamban.
Hal ini disebabkan oleh kebiasaan yang dipengaruhi oleh irama alam
yang tetap dan lamban. Tanaman yang tumbuh secara alami, semenjak tumbuh hingga
berbuah selalu melewati proses-proses serta tahapan tertentu yang tetap.
5. Tebalnya kepercayaah terhadap takhayyul.
Konsepsi takhayyul merupakan proyeksi dari ketakutan atau ketundukan
mereka terhadap alam disebabkan karena tidak dapat memahami dan menguasai
alam secara alam.
6. Sikap yang pasif dan adaptif masyarakat desa
terhadap alam juga nampak dalam aspek kebudayaan material mereka yang
bersahaja. Kebersahajaan itu nampak misalnya pada arsitetktur rumah dan
alat-alat pertanian.
7. Rendahnya kesadaran akan waktu.
Faktor ini didasari oleh keterikatan mereka terhadap alam yang
memliki irama sendiri yang tidak terikat oleh waktu. Tanamam memiliki
proses alami dengan peket waktu tersendiri terlepas dari pengaturan dan campur
tangan manusia. Orang tinggal menanti proses yang alami itu. Akibatnya mereka
tidak memiliki kesadaran yang tinggi akan pentingnya waktu.
8. Kecenderungan masyarakat yang serba praktis.
Dalam segala hal mereka tidak terbebani ahl-hal yang kompleks,
mereka tidak perlu berbicara panjang lebar dan berbasa basi satu sama lain. Hal
ini mendorong tumbuh dan berkembangnya sifat-sifat jujur, terus terang, dan
suka bersahabat.
9. Terciptanya standar moral yang kaku dikalangan
masyarakat desa.
Moralitas dalam pandangan masyarakat desa adalah sesuatu yang
absolut, tidak ada kompromi antara baik dan buruk serta cenderung
pada pemahaman clear-cut definition (pemahaman hitam putih).
3. Aspek-Aspek Kultural Lainnya
Untuk
sebagian, pola kebudayaan dari suatu kelompok masyarakat tidak terlepas ( dan
bahkan merupakan refleksi) dari cara hidup atau sistem mata pencaharian
masyarakat itu. untuk sebagian lain, agama atau kepercayaan sering merupakan
elemen pokok yang menjadi cultural focus pola kebudayaan suatu masyarakat,
lebih-lebih untuk masyarakat yang relatif masih bersahaja. Bersumber atau
terkait pada agama/kepercayaan ini terciptalah adat-istiadat atau berbagai
bentuk tradisi (termasuk sistem kekerabatan) yang mengatur seluruh kehidupan
masyarakatnya.
Bagi
masyarakat desa yang secara umum pengelompokannya relatif kecil, adat-istiadat
atau tradisi adalah identik dengan kebudayaan. Sebab, dalam adat-istiadat atau
tradisi tersebut telah terkandung sistem nilai, norma, sistem kepercayaan, sistem
ekonomi dan lainnya, yang cukup lengkap menjadi pedoman perilaku kehidupan
mereka. Untuk sbagian lainnya lagi, pola kehidupan masyarakat Indonesia umunya,
dan desa khususnya, harus dirunut asal-muasal nenek moyang kita yang ternyata
berasal dari tempat dan suku bangsa yang berbeda-beda. Denagn sendirinya pula
dengan pola kebudayaan yang beragam.
Mengacu pada
keadaan masa lampau, dengan berorientasi pada pola dasar mata pencaharian
masyarakat, W.F Wertheim (dalam Rahardjo, 1999), membedakan adanya tiga daerah
peradaban di Indonesia. Pertama, sebagian besar Jawa Tengah dan Jawa Timur yang
telah sekian lamanya memiliki teknik dan system pertanian sawah. Kedua
sepanjang pantai Jawa, Sumatera dan Malaya, Kalimantan (di muara-muara sungai)
yang merupakan daerah-daerah tempat berkembangnya kota-kota pelabuhan.
Kota-kota pelabuhan ini mengadakan hubungan dengan India, Cina, dan bahkan
Jepang. Kegiatan perdagangan laut inilah yang merupaka unsur penentu corak
peradaban daerah-daerah ini. Ketiga, daerah-daerah pedalaman dari kota-kota
pelabuhan. Daerah-daerah ini pendudukya jarang.Desa-desa pertanian sawah yang
berada di Jawa Tengah dan Timur, yang umumnya disebut daerah pedalaman
(hinterland), dapat diperkirakan lebih bersifat tertutup, statis dan kurang
berorientasi kepada keuntungan dibanding dengan masyarakat desa-desa di daerah
peradaban ke dua.
Desa-desa di
sekitar daerah peradaban kedua karena terbiasa pada situasi yang tercipta oleh
hubungan (dagang) dengan luar, dapat diperkirakan cenderung mengembangkan sikap
yang tebuka dan berorientasi pada keuntungan. Orientasi pada keuntungan ini
juga dapat diperkirakan terdpat dalam masyarakat desa-desa sekitar daerah
peradaban ketiga, sekalipun daerah ini dilekati oleh adat-istiadat lokal yang
cukup kuat. Pada desa-desa sekitar dua peradaban terakhir ini “derajat
ketundukannya” terhadap kekuatan supra desa kurang besar disbanding dengan
masyarakat desa-desa sekitar daerah peradaban pertama. Maka pada era
diterapkannya program-program pembangunan desa yang pendekatannya bersifat
top-down, desa-desa di daerah tersebut kurang dapat mengadopsi program-program
itu dengan baik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar